Intro Paradise-nya Coldplay menggaung keras dari kamar saya mendahului kokok ayam tetangga. Alarm itu sengaja saya setel agar saya bisa bangun dan berangkat pagi-pagi menuju lokasi yang malam sebelumnya saya rencanakan untuk saya kunjungi. Ada alasan sedikit tak masuk akal yang membuat saya harus pergi ke sebuah rumah yang terletak di salah satu sudut Desa Pasuruhan, Mertoyudan itu.
Saya ke sana mengendarai motor bebek butut melewati kebun dan sawah mengikuti arahan aplikasi Google Maps. Begitu tiba di titik lokasi, ternyata rumah-rumah biasa saja yang saya temui. Tentu membingungkan bagi siapa saja yang pertama kali datang ke tempat yang saya cari ini. Maka, bertanya kepada penduduk sekitar masih menjadi solusi agar bisa benar sampai tujuan.
Seorang perempuan berusia paruh baya lantas mengarahkan saya ke sebuah rumah di balik sebuah gang kecil setelah saya bertanya padanya.
Rumah itu terlihat bersih dan asri, ada satu pohon bougenvile berukuran sedang yang menghias diri dengan memekarkan bunga-bunga berwarna violet di depan teras. Udara masih terasa dingin pagi itu, karena saya datang ke sana ketika waktu belum genap menunjukkan pukul tujuh. Tidak ada siapapun di depan rumah. Hampir tidak seperti yang saya bayangkan, tidak ada warung dengan meja kayu dengan tatanan jajanan-jajanan pasar di atasnya, tidak terlihat juga ada pembeli saat itu. Hingga seorang tetangga rumah itu kemudian keluar, hendak membersihkan kebun. Saya menghampiri, beliau menyapa saya dan lantas bertanya dengan bahasa Jawa halus, yang kalau diterjemahkan kira-kira begini artinya :
"Mau kemana, Mas?"
"Mau beli gethuk, Pak. Warungnya di mana ya?"
"O, itu." Beliau menunjuk rumah tempat saya tadi memarkir motor di halamannya.
Saya masih ragu.
"Masuk saja, itu pintunya yang paling pojok." Tambahnya.
Saya pun menuju pintu pojok rumah itu setelah sebelumnya berterimakasih.
"Kulonuwun?" kata saya.
Seseorang kemudian merespon dengan sigap dari dalam, "Kesini, masuk saja kedalam."
Saya kembali ragu, tepatnya 'pekewuh' karena ini pertama kalinya saya berkunjung ke rumah itu. Seorang lelaki tinggi besar kemudian datang menyambut, tampak baru saja mengambil jeda dari aktifitas yang dilakukannya, dan mengulang lagi apa yang tadi ia ucapkan, "Masuk saja, mas. Sini, ga papa". Belakangan saya tahu namanya Mas Asmudi setelah kami berkenalan.
Saya akhirnya memberanikan diri untuk masuk didahului permisi ke ruangan paling dalam di dekat dapur. Seorang perempuan tua terlihat sedang mengiris-iris gethuk untuk seorang pembeli yang ternyata juga sudah ada di dalam. Beliau adalah Ibu Marinten, perempuan hebat yang telah merintis usaha gethuk dan aneka jajanan jadul ini sejak masih gadis.
Saya diijinkan duduk. Ibu Marinten lantas menawari saya untuk memilih jajanan-jajanan yang tertata rapi di atas dipan--beberapa olahan dari singkong yang di kota besar sudah sangat langka dijumpai. Hampir susah untuk memilih, karena seluruhnya adalah makanan yang saya benar-benar kangeni. Ada gethuk, tiwul, cethot dan juga gatot. Pilih satu kurang, pilih semua khawatir kekenyangan. Maka saya memilih tiwul untuk disantap di sana, dan tiga lainnya saya putuskan untuk dibungkus dan dibawa pulang.
Soal rasa tentu saja tidak lagi diragukan, Bu Marinten konsisten jualan gethuk sudah lebih dari setengah abad lamanya. Pengalaman yang panjang menjadikan beliau seorang gastronom ahli, terutama soal olahan menu berbahan dasar singkong. Gethuk Bu Marinten sangat pulen dan legit, tidak heran sebelum beliau menjual dagangannya di pasar, pelanggan banyak yang datang ke rumahnya untuk memburu.
***
"Njenengan dari mana, kok tahu tempat ini?" Tanya Mas Asmudi, di sela-sela waktu saya menikmati sepiring kecil tiwul dengan parutan kelapa di atasnya, "Jangan-jangan yang semalam tanya di Google Maps?"
"Nggih, leres.." jawab saya sembari menilai rasa.
"Sebentar, saya bikinkan kopi. 'Kan kemarin saya bilang, saya akan kasih kopi gratis kalau kesini."
Saya berterimakasih.
Ibu dan anak itu lantas kompak berbagi cerita. Mengisahkan bagaimana usaha gethuk ini dimulai. Mereka berdua adalah orang yang ramah dan sangat ahli membuat orang merasa nyaman.
Secangkir kopi datang (tepatnya dua, karena ketika itu saya membawa seorang teman), aromanya mengutuhkan kenangan. Rasa tiwul dan aroma kopi seketika mengajak pikiran saya jalan-jalan ke suatu masa yang masih tersimpan baik dalam ingatan. Hal itu membuat saya jadi sedikit kurang konsentrasi mendengarkan perbincangan. Maka, saya minta izin sejenak untuk menikmati kopi dan tiwul di tangan saya di teras rumah dengan dalih ingin menghirup udara segar.
Di teras itu, sebatang kretek lantas saya nyalakan. Pagi menjadi benar-benar sempurna. Wangi padi tercium samar menguasai udara, karena tepat di samping rumah ini terbentang luas sawah dan rawa-rawa. Saya rasa nantinya waktu ini akan menjadi kenangan yang lain, menggenapi kenangan tentang gethuk yang pernah ada sebelum seri Dragon Ball mengudara di televisi.
Untuk hal-hal yang membikin gembira, waktu kerap terasa berlalu demikian cepat. Jam ketika itu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Mau tidak mau saya musti pulang, meski puluhan menit waktu untuk menikmati pagi yang baik itu bagi saya masih terasa kurang. Bu Marinten akan berjualan gethuk di Pasar Blabak pada pukul delapan. Karenanya, saya pun memutuskan untuk berpamitan.
Saya masuk lagi ke dalam rumah yang mirip galeri kecil itu. Beberapa hiasan dinding yang berhubungan dengan kopi tampak terpajang rapi di ruang tamu. Wajar saja, karena Mas Asmudi adalah seorang penggemar kopi. Kami lantas bertukar nomor WA sebelum berpamitan karena ada beberapa cerita yang masih kembali ingin saya dengarkan.
***
"Dulu orang tua saya berjalan kaki kalau mau jualan di pasar. Mami diantar almarhum Ayah pake sepeda onthel yang diberi krombong dari bambu. Tenggok berisi gethuk dan tape ditaruh di krombong kanan dan kiri. Sepanjang jalan mereka juga melayani pembeli." Cerita mas Asmudi saat saya membuka percakapan lewat WA pada malam hari dengannya, "Saya suka sekali kalau dulu orang tua saya cerita ini. Kenangan mereka berdua, dan sampai hari ini masih membekas di hati saya."
Mengingat kenangan memang salah satu cara untuk membuat mereka yang telah pergi hadir kembali di kehidupan ini, meskipun itu sekedar perasaan. Dan sebenarnya, itulah alasan kenapa pagi-pagi sekali saya menempuh jalan panjang--yang sebelumnya belum pernah saya lewati--mengikuti peta menuju rumah produksi gethuk yang di Google Maps dinamai Gethuk A3 itu : Ada orang-orang yang sebentar ingin saya 'hidupkan', sebagai pengingat kenapa saya harus tetap semangat berjuang menggapai apa yang saya inginkan di hari-hari saya yang sulit seperti sekarang.
Magelang, Oktober 2021