Saturday, October 23, 2021

Gethuk A3 dan Lelaki yang Berupaya Membangkitkan Kenangan

Intro Paradise-nya Coldplay menggaung keras dari kamar saya mendahului kokok ayam tetangga. Alarm itu sengaja saya setel agar saya bisa bangun dan berangkat pagi-pagi menuju lokasi yang malam sebelumnya saya rencanakan untuk saya kunjungi. Ada alasan sedikit tak masuk akal yang membuat saya harus pergi ke sebuah rumah yang terletak di salah satu sudut Desa Pasuruhan, Mertoyudan itu.

Saya ke sana mengendarai motor bebek butut melewati kebun dan sawah mengikuti arahan aplikasi Google Maps. Begitu tiba di titik lokasi, ternyata rumah-rumah biasa saja yang saya temui. Tentu membingungkan bagi siapa saja yang pertama kali datang ke tempat yang saya cari ini. Maka, bertanya kepada penduduk sekitar masih menjadi solusi agar bisa benar sampai tujuan.

Seorang perempuan berusia paruh baya lantas mengarahkan saya ke sebuah rumah di balik sebuah gang kecil setelah saya bertanya padanya.

Rumah itu terlihat bersih dan asri, ada satu pohon bougenvile berukuran sedang yang menghias diri dengan memekarkan bunga-bunga berwarna violet di depan teras. Udara masih terasa dingin pagi itu, karena saya datang ke sana ketika waktu belum genap menunjukkan pukul tujuh. Tidak ada siapapun di depan rumah. Hampir tidak seperti yang saya bayangkan, tidak ada warung dengan meja kayu dengan tatanan jajanan-jajanan pasar di atasnya, tidak terlihat juga ada pembeli saat itu. Hingga seorang tetangga rumah itu kemudian keluar, hendak membersihkan kebun. Saya menghampiri, beliau menyapa saya dan lantas bertanya dengan bahasa Jawa halus, yang kalau diterjemahkan kira-kira begini artinya :

"Mau kemana, Mas?"
"Mau beli gethuk, Pak. Warungnya di mana ya?"
"O, itu." Beliau menunjuk rumah tempat saya tadi memarkir motor di halamannya.
Saya masih ragu.
"Masuk saja, itu pintunya yang paling pojok." Tambahnya.
Saya pun menuju pintu pojok rumah itu setelah sebelumnya berterimakasih.

"Kulonuwun?" kata saya.
Seseorang kemudian merespon dengan sigap dari dalam, "Kesini, masuk saja kedalam."
Saya kembali ragu, tepatnya 'pekewuh' karena ini pertama kalinya saya berkunjung ke rumah itu. Seorang lelaki tinggi besar kemudian datang menyambut, tampak baru saja mengambil jeda dari aktifitas yang dilakukannya, dan mengulang lagi apa yang tadi ia ucapkan, "Masuk saja, mas. Sini, ga papa". Belakangan saya tahu namanya Mas Asmudi setelah kami berkenalan.

Saya akhirnya memberanikan diri untuk masuk didahului permisi ke ruangan paling dalam di dekat dapur. Seorang perempuan tua terlihat sedang mengiris-iris gethuk untuk seorang pembeli yang ternyata juga sudah ada di dalam. Beliau adalah Ibu Marinten, perempuan hebat yang telah merintis usaha gethuk dan aneka jajanan jadul ini sejak masih gadis.

Saya diijinkan duduk. Ibu Marinten lantas menawari saya untuk memilih jajanan-jajanan yang tertata rapi di atas dipan--beberapa olahan dari singkong yang di kota besar sudah sangat langka dijumpai. Hampir susah untuk memilih, karena seluruhnya adalah makanan yang saya benar-benar kangeni. Ada gethuk, tiwul, cethot dan juga gatot. Pilih satu kurang, pilih semua khawatir kekenyangan. Maka saya memilih tiwul untuk disantap di sana, dan tiga lainnya saya putuskan untuk dibungkus dan dibawa pulang.

Soal rasa tentu saja tidak lagi diragukan, Bu Marinten konsisten jualan gethuk sudah lebih dari setengah abad lamanya. Pengalaman yang panjang menjadikan beliau seorang gastronom ahli, terutama soal olahan menu berbahan dasar singkong. Gethuk Bu Marinten sangat pulen dan legit, tidak heran sebelum beliau menjual dagangannya di pasar, pelanggan banyak yang datang ke rumahnya untuk memburu.

***
"Njenengan dari mana, kok tahu tempat ini?" Tanya Mas Asmudi, di sela-sela waktu saya menikmati sepiring kecil tiwul dengan parutan kelapa di atasnya, "Jangan-jangan yang semalam tanya di Google Maps?"
"Nggih, leres.." jawab saya sembari menilai rasa.
"Sebentar, saya bikinkan kopi. 'Kan kemarin saya bilang, saya akan kasih kopi gratis kalau kesini."
Saya berterimakasih.

Ibu dan anak itu lantas kompak berbagi cerita. Mengisahkan bagaimana usaha gethuk ini dimulai. Mereka berdua adalah orang yang ramah dan sangat ahli membuat orang merasa nyaman.

Secangkir kopi datang (tepatnya dua, karena ketika itu saya membawa seorang teman), aromanya mengutuhkan kenangan. Rasa tiwul dan aroma kopi seketika mengajak pikiran saya jalan-jalan ke suatu masa yang masih tersimpan baik dalam ingatan. Hal itu membuat saya jadi sedikit kurang konsentrasi mendengarkan perbincangan. Maka, saya minta izin sejenak untuk menikmati kopi dan tiwul di tangan saya di teras rumah dengan dalih ingin menghirup udara segar. 

Di teras itu, sebatang kretek lantas saya nyalakan. Pagi menjadi benar-benar sempurna. Wangi padi tercium samar menguasai udara, karena tepat di samping rumah ini terbentang luas sawah dan rawa-rawa. Saya rasa nantinya waktu ini akan menjadi kenangan yang lain, menggenapi kenangan tentang gethuk yang pernah ada sebelum seri Dragon Ball mengudara di televisi.

Untuk hal-hal yang membikin gembira, waktu kerap terasa berlalu demikian cepat. Jam ketika itu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Mau tidak mau saya musti pulang, meski puluhan menit waktu untuk menikmati pagi yang baik itu bagi saya masih terasa kurang. Bu Marinten akan berjualan gethuk di Pasar Blabak pada pukul delapan. Karenanya, saya pun memutuskan untuk berpamitan.

Saya masuk lagi ke dalam rumah yang mirip galeri kecil itu. Beberapa hiasan dinding yang berhubungan dengan kopi tampak terpajang rapi di ruang tamu. Wajar saja, karena Mas Asmudi adalah seorang penggemar kopi. Kami lantas bertukar nomor WA sebelum berpamitan karena ada beberapa cerita yang masih kembali ingin saya dengarkan.

***

"Dulu orang tua saya berjalan kaki kalau mau jualan di pasar. Mami diantar almarhum Ayah pake sepeda onthel yang diberi krombong dari bambu. Tenggok berisi gethuk dan tape ditaruh di krombong kanan dan kiri. Sepanjang jalan mereka juga melayani pembeli." Cerita mas Asmudi saat saya membuka percakapan lewat WA pada malam hari dengannya, "Saya suka sekali kalau dulu orang tua saya cerita ini. Kenangan mereka berdua, dan sampai hari ini masih membekas di hati saya."

Mengingat kenangan memang salah satu cara untuk membuat mereka yang telah pergi hadir kembali di kehidupan ini, meskipun itu sekedar perasaan. Dan sebenarnya, itulah alasan kenapa pagi-pagi sekali saya menempuh jalan panjang--yang sebelumnya belum pernah saya lewati--mengikuti peta menuju rumah produksi gethuk yang di Google Maps dinamai Gethuk A3 itu : Ada orang-orang yang sebentar ingin saya 'hidupkan', sebagai pengingat kenapa saya harus tetap semangat berjuang menggapai apa yang saya inginkan di hari-hari saya yang sulit seperti sekarang.


Magelang, Oktober 2021 

Wednesday, September 29, 2021

Dusun Klipoh dan Pesona Warisan Leluhur di Borobudur

Bicara tentang wisata di Kabupaten Magelang memang tidak ada habisnya. Dari gunung, bukit, hutan, sumber mata air, tempat-tempat bersejarah hingga kuliner, Magelang memiliki semua daftar itu. Selain wisata alam dan situs-situs purbakala, Magelang bahkan memiliki juga banyak destinasi wisata alternatif seperti Desa-desa Wisata, dan Klipoh yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pengrajin gerabah adalah salah satunya. 

Langit mulai sedikit berwarna keemasan sore itu. Dari kejauhan, terlihat seorang perempuan berusia separuh baya sedang mengayuh pelan sepeda tuanya dengan membawa sekarung besar rumput pakan ternak di boncengan belakang. Kepalanya sedikit tertunduk dengan mata yang menyipit ketika ia berpapasan dengan saya, beliau lantas menyapa saya dengan ramah. Bahkan dengan ekspresi seperti itu, Ibu ini tidak bisa menyembunyikan senyuman yang tulus di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Dan saya pun segera membalas sapaan tersebut dengan hal yang sama. Beliau kemudian menjauh, meneruskan perjalanannya. Dua ekor burung putih terlihat terbang beriringan di langit desa. Angin berhembus sepoi-sepoi membawa wangi rerumputan. Hati saya merasa hangat seketika. Betapa suasana yang mendamaikan hati seperti ini sudah begitu langka saya temui di kota. 

Saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju tujuan awal saya kemari, ke sebuah desa yang sudah sejak lama masuk ke dalam list perjalanan, mengikuti peta di ponsel pintar. Sepanjang jalan, ladang-ladang tembakau dan tanaman palawija menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Di belakangnya menjulang bentangan bukit menoreh yang terlihat gagah dan hijau berurat-urat. Lalu tibalah saya di Balkondes Desa Karanganyar. Kalau sudah sampai di sini, maka itu tandanya saya sudah sangat dekat dengan tujuan. Saya berhenti sebentar untuk sekedar mengambil beberapa gambar dari gerbang depan lantaran pemandangan di Balkondes Karanganyar ini juga terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sebelum akhirnya, saya melanjutkan kembali perjalanan ke arah barat, karena warna langit mengingatkan saya bahwa hari itu saya sudah tidak lagi punya begitu banyak waktu. Lima menit kemudian, sampailah saya di sebuah dusun yang menjadi tujuan utama saya. 

Namanya Klipoh, dusun yang akrab disebut orang-orang sekitar dengan “Nglipoh”. Dusun ini terkenal sebagai penghasil gerabah terbesar di Kabupaten Magelang. Tak ayal, “Pottery Academy” menjadi tema yang diangkat di Balkondes Desa Karanganyar tempat dusun Klipoh ini berada. Bagi yang belum tahu, Balkondes merupakan akronim dari Balai Ekonomi Desa. Diinisiasi oleh Kementrian BUMN, Balkondes yang terdapat di Desa-desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Borobudur ini didirikan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Setiap Desa memiliki tema dan kelebihannya tersendiri. Banyak wisatawan menjadikan Balkondes yang ada di hampir setiap desa di Kecamatan Borobudur ini sebagai tujuan wisata karena bangunannya yang unik dan pemandangannya eksotik. 

 ***

Saya memutuskan untuk berkeliling area “Nglipoh” sebentar, sebelum kemudian mencari tahu banyak hal tentang gerabah. Beberapa warga membuka galeri kecil-kecilan di depan rumah mereka. Gerabah-gerabah basah yang dijemur di halaman depan rumah sepertinya menjadi pemandangan sehari-hari yang kita bisa temukan di sini. Ada aroma khas dari dusun Klipoh ini, yaitu aroma dari asap sekam yang dibakar. Aroma itu kemudian menuntun saya ke tempat pembakaran gerabah yang ada di pinggir jalan. Seorang wanita terlihat tengah sibuk membolak-balik sekam bakar di sana. Saya memulai obrolan kecil, menggangu sebentar aktifitasnya, sampai kemudian beliau mempersilahkan saya untuk melihat-lihat galeri yang berisi banyak kerajinan gerabah dengan berbagai bentuk—dari mulai cangkir, cobek, mangkuk, kendi, guci, hingga patung-patung dengan bentuk yang menarik—di sebrang tempat pembakaran itu. 

Galeri ini ternyata milik Pak Poyo, seorang tokoh pengrajin gerabah yang namanya sudah cukup terkenal. Beliau adalah ketua pengrajin gerabah di dusun Klipoh ini. Galeri milik Pak Poyo sering menjadi tujuan wisata edukatif bagi para pelancong. Sebelum adanya pandemi seperti sekarang ini, sering dulu anak-anak sekolah melakukan tur wisata ke galerinya. Anak-anak diajarkan cara membuat gerabah hingga proses finishing dengan hasil karya yang bisa mereka bawa pulang. Bukan cuma anak-anak sekolah atau wisatawan domestik saja, turis mancanegara pun bahkan juga sering sekali mampir ke galeri ini. Cerita seperti ini sudah sering terdengar dan sering juga diangkat sebagai tulisan oleh para Blogger yang pernah melakukan liputan. Sayangnya, Pak Poyo tidak ada di rumah ketika hari itu saya berkunjung. Tetapi sebagai gantinya, saya disambut ramah oleh adik perempuan beliau yang bernama Ibu Yuriah. Bu Yuriah sedang membentuk tanah liat di atas alat putar tradisional sebagai proses pembuatan gerabah sebelum kemudian dijemur dan dibakar. Saya beruntung, karena Bu Yuriah ini ternyata ramah dan enak diajak ngobrol. Dan beliaulah yang kemudian bercerita banyak tentang seluk beluk gerabah dan aktifitas galeri milik kakaknya kepada saya.
Mengutip cerita dari Bu Yuri, kerajinan gerabah di dusun ini konon sudah ada sejak sebelum Candi Borobudur didirikan. Hal itu juga ditegaskan dengan adanya relief tentang pembuatan gerabah di Candi Borobudur. Kegiatan membuat gerabah mulai diaktifkan dan diperkenalkan kembali sekitaran tahun 2004. Bahan baku tanah liat untuk membuat gerabah sendiri diambil dari lingkungan sekitar. Selain itu, kata Bu Yuriah, bahan baku ada yang didatangkan dari Sukabumi juga. Bahan baku tersebut adalah tanah putih, yang biasa digunakan khusus untuk membuat keramik. 

Dan saya baru tahu, ternyata tempat ini tidak hanya menghasilkan gerabah saja, namun juga kerajinan keramik. Biasanya ada tengkulak dari Semarang yang memesan kerajinan gerabah dan keramik dari sini hingga lima kali dalam satu bulan untuk kemudian diekspor ke China. Gerabah-gerabah di pasar tradisional juga banyak berasal dari galeri ini, tapi biasanya dibuat hanya kalau ada pesanan saja. Untuk pelanggan dalam Negri, galeri Pak Poyo ini tidak hanya menyuplai di area Magelang saja, tapi juga sampai pulau Bali. Harganya bervariasi, dari mulai di bawah sepuluh ribu hingga jutaan rupiah, tergantung ukuran dan detail pesanan. “Biasanya yang harganya jutaan itu adalah patung-patung dengan ukuran besar.” Kata Bu Yuri. Karena hari sudah mulai agak gelap, saya pun berpamitan dengan Bu Yuriah setelah obrolan akrab yang tidak terasa membuat waktu cepat berlalu. Dan lantaran sudah jauh-jauh mampir, rasanya tidak afdhol kalau pulang hanya dengan tangan kosong saja. Jadi, sayapun memutuskan membeli beberapa kerajinan dari gerabah untuk dibawa pulang. Cobek, cangkir, dan mangkuk dari tanah liat menjadi pilihan saya, sebab belakangan memang saya suka memakai peralatan makan yang “Back to Nature”. Saya seketika menyadari, ternyata dusun Klipoh ini selain sebagai destinasi wisata edukasi pembuatan gerabah, juga bisa menjadi destinasi wisata belanja. Terutama bagi kalian yang suka mengoleksi alat-alat rumah tangga berbahan dasar alam.
Tidak rugi menjadikan Klipoh sebagai tujuan wisata, selain karena Low Budget—tentu saja jika tidak ada acara belanja oleh-oleh—Klipoh memberi pengalaman yang mengesankan karena chemistry-nya tidak bisa ditemukan di tempat manapun di Magelang. Melihat orang-orang membuat dan menjemur gerabah di sana, entah kenapa membuat saya seolah terlempar ke masa lalu. Datang saja ke Klipoh, dan kalian boleh membuktikan itu! 

How to Get There 
Dusun Klipoh terletak sekitar 4,6 Km ke arah Barat dari Candi Borobudur. Dengan kendaraan pribadi, tempat ini sangat mudah ditemukan jika kita mau menggunakan aplikasi Maps atau bertanya kepada penduduk sekitar. Untuk transportasi, kita bisa menggunakan ojek online atau ojek penduduk setempat yang banyak terdapat di area Borobudur.